Judul: The Giver
Pengarang: Lois Lowry
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Penerjemah: Ariyantri Eddy Tarman
Editor: Barokah Ruziati
Jumlah halaman: 232 halaman
ISBN: 978-602-03-0668-1
Cetakan 1, Agustus 2014
Segmen: Remaja, semua umur, middle grade
Genre: Dystopia, drama.
Harga: Rp 48.000
Rate: ★★★★
Bayangkan jika kau hidup di dunia yang segala sesuatunya serba teratur, terkendali, terduga dan tentunya terencana. Bayangkanlah hidup di mana keluargamu sudah ditentukan, kegiatanmu sudah ditentukan, pekerjaanmu sudah ditentukan, kehidupanmu sejak lahir sudah ditentukan, bahkan umurmu juga sudah ditentukan. Orang tuamu sudah dipilihkan, pasanganmu juga akan dipilihkan dan anak-anakmu juga akan dipilihkan. Bahkan kata-kata yang kau gunakan saat berbicara juga harus diatur.
Jonas hidup dalam komunitas yang damai dan tanpa warna, tanpa emosi berlebihan dan juga tanpa mengenal apa itu rasa sakit. Hal-hal negatif tidak diperkenankan dalam komunitas Jonas. Menjelang usianya yang akan mencapai 12, komunitas Jonas mulai menentukan penugasan bagi setiap anak yang akan menjadi latihan untuk pekerjaan mereka saat dewasa kelak.
Tapi Jonas tidak mendapatkan penugasan seperti anak-anak lain, karena para tetua dalam komunitas telah memilih Jonas untuk menjadi si penerima ingatan. Penerima ingatan adalah tugas terhormat yang hanya diemban seorang anak nyaris seumur hidup mereka, karena Jonas akan mendapatkan semua ingatan tentang masa lalu yang berisi banyak pengetahuan untuk menambah kearifan. Termasuk ingatan-ingatan yang menyakitkan dan mengerikan yang tidak pernah ada dalam hidup Jonas yang teratur dan tenang.
Dan saat Jonas menjadi penerima ingatan, ia menjadi tahu mengenai hal-hal mengerikan yang sesungguhnya terjadi dalam komunitasnya yang damai. Karena ingatan telah membuat Jonas mengetahui apa yang sesungguhnya benar dan apa yang tidak.
What I thought about my first impression of the story:
World building yang menarik. Bagi saya saat membaca sebuah novel bergenre Dystopia yang paling saya lihat adalah world building dystopianya. Penulis sukses menggambarkan dunia dystopia dalam komunitas tempat Jonas hidup seperti utopia. Karena saya juga merasa betapa teraturnya hidup para warga dalam komunitas. Seperti setiap umur anak-anak bertambah, maka akan ada upacara perayaan secara bersama-sama (tidak mengenal acara ulang tahun secara individu), misal umur 9 tahun, setiap anak dalam komunitas akan menerima sepeda dan boleh menaiki sepeda. Dan sebelum mereka menjadi sembilan, mereka dilarang untuk memiliki dan naik sepeda.
Saat ada masyarakat komunitas yang membuat orang lain dalam komunitas kurang nyaman, mereka harus mengucapkan maaf dan sebaliknya orang yang telah dibuat kurang nyaman, harus menjawab mereka dengan berkata menerima permintaan maafnya.
Kalau dipikir-pikir, dunia dystopia dalam The Giver itu tidak buruk sih, karena kita tidak perlu pusing sama kehidupan kita secara segala sesuatunya sudah direncanakan sama pemerintah. Tidak usah mikir urusan jodoh dan karir, secara jodoh sudah dicarikan sama pemerintah dan karir sudah ditentukan sesuai bakat dan minat seseorang dan setiap orang tidak perlu khawatir kalau merasa dirinya berbeda, karena semuanya dibuat sama, seperti baju yang seragam, gaya rambut yang sama, dll. Bahkan urusan makanan juga sudah diatur karena sepertinya masyarakat dalam komunitas tidak perlu memasak karena sudah ada orang-orang yang berprofesi koki yang akan memasak untuk masyarakat dan setiap hari makanan-makanan ini akan dikirim ke setiap unit keluarga seperti catering dan selesai makan, piring-piring kotor juga sudah ada yang mengambil, jadi tidak perlu repot cuci piring juga.
Dalam hal setting dunia tanpa cinta ini, sedikit mengingatkan saya sama Delirium-nya Lauren Oliver, walau dalam Delirium lebih menekankan dunia tanpa emosi dan romance.
Morale of the story:
Kalau untuk urusan pesan yang ingin disampaikan dalam cerita sih jelas banget, yaitu berani untuk tampil beda dan bahwa perbedaan itu indah. Saya suka akan catatan penulis mengenai asal mula dia mendapatkan ide untuk menulis The Giver. Terkadang untuk melindungi diri, manusia lebih memilih hidup dalam kelompoknya sendiri dan enggan membaur karena takut tidak nyaman, istilahnya eksklusif deh. Padahal dengan membuka diri justru lebih banyak yang bisa dilihat dan diketahui.
Saya tidak akan membahas karakter, karena memang saya merasa penekanan penulis dalam The Giver lebih ke setting dan cerita itu sendiri bukan karakter. Untuk masalah ending yang masih menggantung, saya justru suka karena menurut saya penulis membuat open ending yang membebaskan para pembacanya untuk mengambil kesimpulan masing-masing.
Dari kata pengantar penulis di awal bahwa buku ini sempat dianggap kontroversial karena premisnya yang mirip doktrin satu agama. Setelah saya baca, saya paham mengapa banyak yang beranggapan begitu walau saya pribadi tidak menganggapnya begitu. Apel dalam buku ini seperti menjadi perantara menuju pengetahuan yang baik dan buruk.
Terjemahan dan sampul
Untuk terjemahan sendiri, saya tidak ada keluhan karena terjemahan cukup baik dan ada sedikit typo tapi hanya sedikit jadi tidak sampai menggangu. Angkat jempol untuk penerjemah dan tentu saja editornya, Mbak Uci yang seperti biasa selalu membuat buku-buku terjemahan jadi nyaman dibaca.
Untuk desain sampul, saya juga suka karena sangat mencerminkan isi buku, mulai dari apel dan warna-warninya.
THE MOVIE
Cast: Brenton Thwaites (Jonas), Jeff Bridges (The Giver), Meryl Streep (Chief Elder), Odeya Rush (Fiona), Cameron Monaghan (Asher)
Sutradara: WIlliam Eubank
Saya langsung masuk penilaian saya mengenai film The Giver. Bila film Insurgent banyak perubahan yang cukup drastis antara buku dan film, maka The Giver perubahannya bukan drastis lagi tapi radikal. Saya menonton film The Giver di DVD, karena banyak teman saya yang berkata filmnya kurang bagus jadi saya putuskan cukup nonton di DVD saja, hehehe.
Setelah menyaksikannya sendiri, saya paham sih mengapa teman saya (yang bukan pembaca bukunya) mengatakan filmnya kurang bagus. Kalau menurut saya inilah beberapa alasannya:
- Aslinya The Giver itu buku middle grade karena tokohnya baru akan masuk usia remaja (12), sedangkan versi film tampaknya diperuntukkan untuk remaja menuju dewasa yang usia tokohnya menjadi 17-18 berarti Hollywood pasti akan menambahkan bumbu romantis ala film-film YA macam Twilight.
- Masih di seputar masalah romantis. Di buku, tidak ada kisah romantis sama sekali, memang Jonas tampaknya ada perasaan terhadap Fiona, tapi masih hanya sebatas teman baik dan kemunculan Fiona di buku sangat minor lebih sebagai pemanis. Sementara di film, yah Fiona ini kemunculan cukup sering dan sebagai love interest sang pemeran utama.
- Film mengubah genrenya menjadi sci-fi thriller, dengan pace yang cepat. Untuk penonton yang bukan pembaca buku, menurut saya cerita di film ini cukup membingungkan. Dengan tone awal yang hitam putih untuk menggambarkan dunia tanpa warna, lalu setelah bincang-bincang dengan sang Pemberi, filmnya menjadi lebih berwarna walau masih gelap. Seharusnya film tidak perlu diubah menjadi sci-fi thriller, karena menurut saya The Giver seharusnya lebih ke drama yang awalnya justru harus berjalan lambat guna mendapatkan feel dari dunia Jonas yang serba teratur dan terkendali.
- Saya merasa karakter Jonas di film kok jadi menyebalkan dan emosian yah. Sementara di buku Jonas itu boleh terbilang cukup dewasa dan terkendali secara emosi dan sikap untuk anak berumur 12 tahun.
- Di film, ada karakter Chief Elder yang diperankan oleh Meryl Streep yang bertindak menjadi antagonis atau villain utama. Sedangkan di buku tidak ada karakter Chief Elder ataupun karakter yang benar-benar berperan sebagai villain. Antagonis di buku itu yah sistem serba teratur dan terkendali dalam komunitasnya Jonas dan Jonas berusaha untuk keluar dari sistem atau komunitas tersebut karena itu salah satu cara dia melawan atau memberontak. Di film juga begitu tapi entah meski endingnya sama tapi saya merasakannya berbeda.
Kesimpulan, filmnya gagal mengeksekusi pesan yang ingin disampakan di buku (IMO) karena saya lebih menangkap romansa dalam film, so this just another teen movie, and not the good ones either, because it have poor execution. Sayang banget padahal ada Meryl Streep dan Jeff Bridges tapi mereka pun tidak bisa membantu. Buat yang tidak baca bukunya, akan bertanya-tanya, "Ini film tentang apa sih?"
Reviewed by:
NARC: Genre 101 - Dystopia
Lucky No. 15 RC: First Initial
Aku belum baca buku ini tapi sudah menonton filmnya. Menurutku filmnya lumayan oke (biasalah, komentar orang belum bisa baca bukunya). Btw ada rencana dibikin sekuelnya nggak ya filmnya?
BalasHapusMengenai cover versi Gramedia, aku suka deh. Melambangkan seseorang yang tercerahkan setelah memakan apel (?) -- (semacam buah pengetahuan yang baik dan yang jahat di Alkitab). Makin pengen baca.