Judul Buku: If I Stay (Jika Aku Tetap Di Sini)
Pengarang: Gayle Forman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Penerjemah: Poppy D. Chusfani
Editor: Dini Pandia
Jumlah halaman: 200 Halaman
Cetakan pertama: Februari 2011
Segmen: Remaja, Dewasa-muda
Genre: Drama, realistic fiction
Harga : Rp 28.000 (20% off from Rp 35.000)
Rate: ★★★
Pengarang: Gayle Forman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Penerjemah: Poppy D. Chusfani
Editor: Dini Pandia
Jumlah halaman: 200 Halaman
Cetakan pertama: Februari 2011
Segmen: Remaja, Dewasa-muda
Genre: Drama, realistic fiction
Harga : Rp 28.000 (20% off from Rp 35.000)
Rate: ★★★
Hidup Mia terasa sempurna. Ia memiliki keluarga yang baik dan menyayanginya, sahabat yang selalu setia mendampingi dan pacar yang selalu memuja dan mendukungnya.
Nilai-nilainya di sekolah rata-rata baik, kelakuannya manis dan tak pernah menimbulkan masalah, dan yang membanggakan, semua orang selalu memuji bakatnya dalam bermain musik klasik, yaitu cello. Mia pun mempunyai masa depan cerah saat sekolah musik elit dan bergengsi dari New York, Juilliard mengundangnya untuk ikut audisi.
Namun semua itu hilang dalam sekejap, saat suatu kecelakaan maut nyaris merengut semua yang dimiliki Mia. Nyaris, karena ia sendiri masih hidup meski keadaannya koma, sementara keluarganya tewas seketika.
Mia terjebak dalam keadaan hidup dan mati. Ia harus memilih apakah bergabung bersama keluarga yang disayanginya atau tetap tinggal dan melanjutkan hidup penuh duka.
Membacanya cukup menyenangkan tapi tidak sampai bikin ketagihan.
Saya akui, alasan utama saya membaca buku ini supaya nanti pas filmnya keluar, saya bisa dapat feelnya karena telah membaca bukunya. Sudah hal umum bahwa jarang ada film yang bisa melampaui buku. Dan bagaimana kalau kita lihat trailer filmnya dahulu, sebelum saya melanjutkan review saya :D
Rasanya tidak adil kalau saya bandingkan sama trailer macam The Fault in Our Star yang baru nonton trailernya saja sudah sukses bikin saya mau nangis, mungkin kapan-kapan saya akan buat postingan yang membahas trailer Book Into Movies. Tapi melihat trailer If I Stay, maaf saja jika saya mengatakan ini, tapi trailernya terlalu biasa dan kurang menarik minat untuk membuat orang menontonnya (apalagi mereka yang tidak membaca bukunya sama sekali), just my 2 cents. Narasi Chloe Moretz kurang melankolis, padahal karakternya sebagai Mia, yang saya tangkap di buku itu kalem dan melankolis. Dan Adam, kesan rockernya sih dapet tapi kalau menurut saya kurang keren, heheheh, maaf untuk fans Adam. Semoga hal ini bisa berubah saat saya menonton filmnya yang rencana tayang bulan Agustus nanti.
Eniwei back to topic, If I stay adalah novel segmen YA ke-3 yang saya baca di tahun 2014 ini. Berbeda dengan 2 YA sebelumnya yang bernuansa fantasi, If I Stay meski mempunyai tema antara kehidupan dan kematian, saya menggolongkan buku ini lebih ke realistic fiction. Karena isi cerita dalam buku ini, terasa sangat membumi. Buku ini seperti teenlit yang lengkap, ada cerita mengenai persahabatan, cowok, keluarga dan tentunya cita-cita.
Bukan Kisah Sedih
Banyak yang bilang buku ini sedih. Tapi setelah saya membacanya, sama sekali tidak sedih, karena buku ini tidak membahas reaksi Mia pasca kehilangan keluarganya. Buku ini justru lebih banyak membahas kehidupan Mia sebelum kecelakaan. Jadi memakai alur maju mundur.
Kisah dalam buku ini bergulir seperti sebuah kilas balik, pengarang mengajak pembaca untuk melihat kehidupan sehari-hari Mia sebelum terjadinya kecelakaan. Meski kehidupan sehari-hari Mia tergolong biasa alias normal-normal saja, namun cara penulis menuturkannya terasa begitu mengalir, tenang dan apa adanya. Tidak ada kata-kata berbunga yang membuat pusing, tidak ada kalimat-kalimat lebay pada bagian romensnya dan walau mungkin ada sedikit metafora dengan menggunakan istilah-istilah musik (karena Mia dan lingkungannya adalah pecinta musik) yang bikin bingung tapi tidak terlalu banyak.
Selain itu saya suka interaksi-interaksi para tokoh dalam buku ini. Interaksi Mia dan keluarganya yang selalu tampak hangat dan saling mendukung meski sesekali berselisih paham namun pada akhirnya kembali berdamai. Interaksi Mia dan Adam yang meski saling mencintai namun dikisahkan dengan down to earth dan bukan tipikal romens "aku tidak bisa hidup tanpamu". Untuk buku pertama ini, saya bilang romensnya masih bukan fokus utama, karena cerita Mia seputar keluarganya masih lebih banyak dibanding cerita Mia dan Adam.
Karakter-karakternya sendiri cukup oke bagi saya. Tidak ada karakter yang menyebalkan menurut saya. Mia gadis pemalu dan lembut yang selalu merasa terasing karena selera musiknya yang klasik. Adam yang meski rocker beraliran punk tapi ternyata cowok sensitif yang berhati lembut dan cara dia memperlakukan Mia sungguh manis sekali. Tidak heran banyak yang menominasikan Adam sebagai book boyfriend. Ada kata-kata Adam yang indah sekali di bagian akhir yang bikin saya terenyuh. Akan saya spoiler supaya yang belum membaca tidak hilang mood.
Ini cuma sekedar pemikiran drama saja dari saya, tapi saya berpikir apakah penulis memiliki pesan terselubung dalam buku ini, yaitu mengajak para orang muda untuk menjadi pro-choice. Oregon (negara bagian yang menjadi setting cerita dalam buku) adalah negara bagian yang sangat berprinsip kebebasan dan mengutamakan kesetaraan hak-hak asasi manusia sebagaimana negara bagian lain di pantai barat Amerika. Penulis tampaknya juga seseorang yang berprinsip liberal. Karena dengan menjadi pro-choice, kita membantu orang lain untuk memberi pilihan dalam hidup mereka.
Tapi saya tidak mau membahas mengenai pro life atau pro choice, karena untuk saya pribadi, pendapat saya mungkin bias atau saya mempunyai standar ganda mengenai pro-choice. Eniwei buat yang mau membaca YA dengan kisah hangat dan pahit tapi dikemas secara ringan, saya merekomendasikan buku ini.
BTW, mungkin karena baru buku pertama, walau saya menyukai karakter Adam di sini, tapi saya belum sampai bermaksud untuk memasukkannya dalam nominasi book boyfriend saya. Mungkin nanti setelah baca buku kedua yang katanya lebih banyak romensnya, saya akan berubah pikiran.
Memorable quote:
Dan pemeran Adam (Jamie Blackley) kok lebih ganteng di foto bawah yah kalau rambutnya pendek dibanding sama yang di film, heheheh. Di film model rambutya aneh, walau masuk akal sih, secara kan rocker.
Review ini juga untuk RC:
Rasanya tidak adil kalau saya bandingkan sama trailer macam The Fault in Our Star yang baru nonton trailernya saja sudah sukses bikin saya mau nangis, mungkin kapan-kapan saya akan buat postingan yang membahas trailer Book Into Movies. Tapi melihat trailer If I Stay, maaf saja jika saya mengatakan ini, tapi trailernya terlalu biasa dan kurang menarik minat untuk membuat orang menontonnya (apalagi mereka yang tidak membaca bukunya sama sekali), just my 2 cents. Narasi Chloe Moretz kurang melankolis, padahal karakternya sebagai Mia, yang saya tangkap di buku itu kalem dan melankolis. Dan Adam, kesan rockernya sih dapet tapi kalau menurut saya kurang keren, heheheh, maaf untuk fans Adam. Semoga hal ini bisa berubah saat saya menonton filmnya yang rencana tayang bulan Agustus nanti.
Eniwei back to topic, If I stay adalah novel segmen YA ke-3 yang saya baca di tahun 2014 ini. Berbeda dengan 2 YA sebelumnya yang bernuansa fantasi, If I Stay meski mempunyai tema antara kehidupan dan kematian, saya menggolongkan buku ini lebih ke realistic fiction. Karena isi cerita dalam buku ini, terasa sangat membumi. Buku ini seperti teenlit yang lengkap, ada cerita mengenai persahabatan, cowok, keluarga dan tentunya cita-cita.
Bukan Kisah Sedih
Banyak yang bilang buku ini sedih. Tapi setelah saya membacanya, sama sekali tidak sedih, karena buku ini tidak membahas reaksi Mia pasca kehilangan keluarganya. Buku ini justru lebih banyak membahas kehidupan Mia sebelum kecelakaan. Jadi memakai alur maju mundur.
Kisah dalam buku ini bergulir seperti sebuah kilas balik, pengarang mengajak pembaca untuk melihat kehidupan sehari-hari Mia sebelum terjadinya kecelakaan. Meski kehidupan sehari-hari Mia tergolong biasa alias normal-normal saja, namun cara penulis menuturkannya terasa begitu mengalir, tenang dan apa adanya. Tidak ada kata-kata berbunga yang membuat pusing, tidak ada kalimat-kalimat lebay pada bagian romensnya dan walau mungkin ada sedikit metafora dengan menggunakan istilah-istilah musik (karena Mia dan lingkungannya adalah pecinta musik) yang bikin bingung tapi tidak terlalu banyak.
Selain itu saya suka interaksi-interaksi para tokoh dalam buku ini. Interaksi Mia dan keluarganya yang selalu tampak hangat dan saling mendukung meski sesekali berselisih paham namun pada akhirnya kembali berdamai. Interaksi Mia dan Adam yang meski saling mencintai namun dikisahkan dengan down to earth dan bukan tipikal romens "aku tidak bisa hidup tanpamu". Untuk buku pertama ini, saya bilang romensnya masih bukan fokus utama, karena cerita Mia seputar keluarganya masih lebih banyak dibanding cerita Mia dan Adam.
Karakter-karakternya sendiri cukup oke bagi saya. Tidak ada karakter yang menyebalkan menurut saya. Mia gadis pemalu dan lembut yang selalu merasa terasing karena selera musiknya yang klasik. Adam yang meski rocker beraliran punk tapi ternyata cowok sensitif yang berhati lembut dan cara dia memperlakukan Mia sungguh manis sekali. Tidak heran banyak yang menominasikan Adam sebagai book boyfriend. Ada kata-kata Adam yang indah sekali di bagian akhir yang bikin saya terenyuh. Akan saya spoiler supaya yang belum membaca tidak hilang mood.
"Jika kau tinggal, aku akan melakukan apa saja yang kauinginkan. Aku akan berhenti main band, pergi bersamamu ke New York. Tapi jika kau ingin menghilang, aku juga akan melakukan itu. Aku tadi bicara dengan Liz dan dia berkata mungkin kembali ke kehidupan lamamu akan menyakitkan, bahwa mungkin akan lebih mudah bagimu jika menghapus kami dari kehidupanmu. Dan itu akan sangat menyebalkan, tapi aku akan melakukannya. Aku sanggup kehilangan kau seperti itu asalkan aku tidak perlu kehilangan dirimu hari ini. Aku akan melepaskanmu. Jika kau tetap hidup." ~hal. 192Just in-depth analysis from me: Pro-Life or Pro-Choice.
Ini cuma sekedar pemikiran drama saja dari saya, tapi saya berpikir apakah penulis memiliki pesan terselubung dalam buku ini, yaitu mengajak para orang muda untuk menjadi pro-choice. Oregon (negara bagian yang menjadi setting cerita dalam buku) adalah negara bagian yang sangat berprinsip kebebasan dan mengutamakan kesetaraan hak-hak asasi manusia sebagaimana negara bagian lain di pantai barat Amerika. Penulis tampaknya juga seseorang yang berprinsip liberal. Karena dengan menjadi pro-choice, kita membantu orang lain untuk memberi pilihan dalam hidup mereka.
Tapi saya tidak mau membahas mengenai pro life atau pro choice, karena untuk saya pribadi, pendapat saya mungkin bias atau saya mempunyai standar ganda mengenai pro-choice. Eniwei buat yang mau membaca YA dengan kisah hangat dan pahit tapi dikemas secara ringan, saya merekomendasikan buku ini.
BTW, mungkin karena baru buku pertama, walau saya menyukai karakter Adam di sini, tapi saya belum sampai bermaksud untuk memasukkannya dalam nominasi book boyfriend saya. Mungkin nanti setelah baca buku kedua yang katanya lebih banyak romensnya, saya akan berubah pikiran.
Memorable quote:
"Kadang-kadang kau membuat pilihan dalam hidupmu dan kadang-kadang pilihanlah yang memilihmu."~hal. 161
"Aku sadar sekarang bahwa meninggal itu mudah sekali. Hiduplah yang sulit." ~hal. 146Balik ke casting film, Chloe Moretz sebagai Mia cantik banget dengan rambut coklat (tapi memang orangnya sudah cantik sih, mau diapain juga tetap cantik).
Review ini juga untuk RC:
Eh kalo aku sih awal2 masih casting pemeran Adam itu malah nganggep nggak cocok banget jadi Adam. Kalo di postingan ini, fotonya Jamie cocok2 aja kok ;) Nggak hafal gimana dia di trailer
BalasHapusrambutnya. Rambutnya di film gak enak diliat. Salahkan penata rambutnya ah.
Hapus