Senin, 09 Juni 2014

SPEAK UP YOUR MIND: LOVE N HATE RELATIONSHIP WITH ROMANCE GENRE

Baiklah, mulai sekarang tiap bulan (atau 2 bulan atau 3 bulan atau entahlah tak jamin konsisten), saya akan membuat postingan non review yang bernama "Speak Up Your Mind"  Untuk SUYM pertama ini, cuap-cuap saya adalah mengenai hubungan cinta dan benci saya sama genre yang bernama 'romance'. 

Romance, apa yang ada dipikiran kita saat mendengar kata itu? Mungkin sebagian besar dari kita akan menjawab percintaan.



Jawabannya tidak salah. Namun percintaan itu sendiri mempunyai berbagai macam rasa. Ada yang manis, ada yang pahit, ada yang sedih, ada yang hambar. Saya tidak akan membahas mengenai genre-genre dalam romens. Bila ada yang penasaran mengenai berbagai macam genre dalam novel romance, silakan berkunjung ke blog-nya Ren di Ren's Little Corner yang super duper komplit membahas genre dalam novel romance.


Trus apa donk yang mau dibahas sama saya di sini? Emmm jawabnya curhatan saya, heheheh. Entah mengapa, sejak tahun 2013 kemaren, saya sulit sekali menikmati romens dalam suatu buku. Baik yang memang sebagai tema utama atau pun hanya sekedar lada, eh maksud saya bumbu penyedap.

Padahal kurang lebih 4 atau 5 tahun yang lalu, saya berani mengklaim kalau romens dan fantasi adalah 2 genre favorit saya. Tapi kalau ditanya pertanyaan yang sama sekarang, mungkin jawaban saya akan seperti ini, "Omni-reader, tidak ada genre favorit, semua tergantung cerita dan penuturannya." Eniwei, tapi fantasi masih menjadi genre yang akan selalu saya suka kok, kapan-kapan saya akan buat curhatan mengenai genre fantasi. But now, it's romantic time.

Sekarang saya melihat buku lebih secara keseluruhan, tidak hanya di bagian romensnya (kebalikannya drama Korea, saya lebih seneng liatin bagian romensnya #siapajugayangtanya). Malah terkadang ada suatu cerita yang saat saya membacanya, justru adegan romensnya membuat tensi turun atau ilfil (ilang filing). Misal lagi seru-serunya beraksi eh ciuman di tengah cerita ala film Hollywood. sambil mengucapkan kata-kata keju, maka reaksi saya hanya:

Source
Nah, terus, kenapa nggak baca yang memang tema utamanya romens saja, macam hisrom (historical romance), pararom (paranormal romance), contemporer romance, yah pokoknya yang memang genre utamanya romens. Dulu saya suka, sewaktu SMU dan kuliah tapi ternyata saya punya sifat cepet bosen. Terutama kalau ternyata tidak ada hal baru yang ditawarkan, dan romens-romens dalam lini Harlequin itu rata-rata generik atau setipe semua (cowoknya ganteng abis, tajir, macho, alpha male githu deh, sedangkan cewenya, entah awalnya kuat atau lembut, tapi pas udah ke adegan cinta, jadinya yah sama aja, lebih fokus ke urusan badan dan ranjang).  Dan setelah itu, saya mulai menikmati kisah romantis sebagai bumbu penyedap dalam cerita alih-alih tema utama. 

Tapi dibilang nggak suka romens sebagai genre utama juga tidak sepenuhnya benar sih #galandanplinplan. Buktinya saya masih suka membaca novel-novel Nicholas Sparks, walau baru dua sih yang saya baca, hehehe. Yang saya suka dari novel Nicholas Sparks karena cerita percintaannya lebih main di emosi bukan di fisik. Terus sering dalam novel-novelnya juga ada adegan drama keluarga.

Balik lagi ke novel romens yang ada di lini Harlequin dan sejenisnya. BTW yang saya maksud dengan dan sejenisnya tuh yang secara bahan-bahannya sama, ada cowok alpha male, adegan dewasa dan akhiran yang selalu happy ending alias pasti jadian. Tinggal cara meraciknya aja yang variatif, ada yang suspense romance, biasanya salah satu jagoannya berprofesi detektif, polisi, agen rahasia/mata-mata, tentara. Trus ada yang contemporer romance, biasanya cowok-cowoknya profesinya yang bergaji tinggi dan mapan macam business tycoon, dokter, pengacara, pangeran, syeikh (eh itu 2 terakhir mah gelar yah) dll. Dan dibandingkan dengan romens impor, profesi cowok di romens lokal lebih sempit. Biasanya nggak jauh-jauh dari pengusaha atau profesi white collar githu.

Cover-cover novel romance yang selalu berakhir happily ever after. 

Nah rasanya sejak 4 atau 5 tahun yang lalu (saya lupa pastinya), datang jenis lain dalam variasi genre romantis. yaitu historical romance. Sesuai namanya history yang artinya sejarah atau kisah di masa lalu, hisrom ini bercerita dengan mengambil waktu berpuluh atau beratus-ratus tahun yang lalu. Sebenarnya hisrom ini sudah pernah masuk sih di Indonesia, cuma kurang populer. Mungkin faktor penerbit minor dan distribusi yang sulit jadi penyebabnya.

Saya ingat, genre hisrom yang pertama-tama populer di Indonesia itu adalah seri Wallflowernya Lisa Kleypas. Dan itu juga genre hisrom yang pertama kali saya baca. Secara keseluruhan, hisrom nggak terlalu jauh beda sama genre-genre romens dalam lini Harlequin yang berpusat pada pencarian cinta. Cowok-cowoknya juga rata-rata tipikal alpha male. Cuma bedanya, di hisrom ini, cowoknya ini banyak yang bergelar bangsawan macam Duke, Earl, Viscount, kalau settingnya di Inggris tempo dulu, macam era regency atau victorian. Bahkan tidak semua seri wallflower saya suka. Dari 4 seri musimnya, hanya Devil in Winter yang paling saya suka, 3 lainnya so-so saja.


Dan selanjutnya hisrom rutin terbit setiap bulan (silakan dikoreksi seandainya saya salah). Setelah Lisa Kleypas, saya juga baca hisrom karangan Julia Quinn. Namun sepertinya sifat pembosan saya kembali mengambil alih, karena setelah 6 atau 7 buku hisrom, saya mulai bosan. Meski begitu saya masih penasaran sama genre hisrom. Lalu penerbit lain macam Dastan yang sebelumnya banyak menerbitkan suspense romance juga ikut menerbitkan hisrom. Dan salah satu yang saya koleksi adalah hisrom bersetting western yang eranya masih barbar, di mana perang sipil masih berlangsung. Termasuk perang rasial antara kulit putih dan penduduk asli Amerika atau Indian. Salah satu seri romens yang bersetting itu adalah Comanche seriesnya Catherine Anderson.



Buku hisrom Catherine Anderson ini agak beda rasanya sama beberapa genre romens lain. Bedanya apa? Pertama, romes ini banyak rasa angst-nya. Kedua, banyak adegan yang penuh kepahitan untuk ukuran novel romens yang biasanya manis atau galau. Buku Catherine Anderson pertama yang saya baca adalah seri Comanche Moon. Yang settingnya berlangsung di era perang sipil dan adegan kekerasan mendominasi masa itu. Dan dari beberapa review yang saya baca, sering tokoh perempuan dalam novel Catherine ini dikisahkan mengalami tindakan kekerasan atau perkosaan. Meski begitu yang namanya series pasti ada turun-naiknya. Dan seri Comanche terbaik, menurut saya ada di seri pertamanya saja, Comanche Moon. Cuman biasanya kalau udah baca yang ceritanya agak beda dan berkesan, mau gak mau, saya jadi naikin standar untuk sekuel-sekuelnya dan sayangnya untuk buku-buku selanjutnya suka gagal memenuhi standar yang saya mau, termasuk Comanche series ini.

Sejak Gramedia mempopulerkannya, hisrom ini termasuk jenis romens yang cukup sukses di Indonesia. Karena selanjutnya tiap bulan, pasti ada beberapa buku hisrom yang terbit. Bahkan beberapa penerbit lain juga turut menerbitkan hisrom macam Gagas Media dan Dastan. Walau sekarang ini hanya GPU, Elex dan Dastan saja yang masih rutin menerbitkan hisrom.

Oh ya, selain hisrom ada pula paranormal romance, biasanya ini untuk yang demen sama fantasi dan romance, seperti saya, walau setelah saya baca beberapa pararom, tampaknya saya belum ketemu yang 'ngeklik' sama cerita dari genre ini, yah mungkin saya masih kurang beruntung karena belum menemukan paranormal romance yang pas dan saya malah kepincut sama genre lain macam historical fiction (cenderung serius dan non romens) dan tentu saja buku anak-anak.

Lalu sekarang ada lagi trends romens yang bener-bener ditujukan untuk mereka yang 21+. Bermula dari Fifty Shades of Grey (yang entah mengapa hingga sekarang masih belum terbit di Indonesia), dikenal isitilah erotica romens yang adegan seksnya lebih eksplisit dan kinky.


Dan tak jarang pula melibatkan borgol dan cambuk. Tapi saya nggak mau bahas banyak soal erotica romens, bukan karena saya orang yang tabu akan adegan-adegan panas, tapi saya belum sempat mencicipi satu pun genre erotis ini jadi saya belum tahu seperti apa rasanya. Tapi kalau kalian penasaran sama genre kipas-kipas ini silakan berkunjung ke blog Cakrawala Gelinjang (seru lho blognya, tapi khusus yang udah merasa dewasa aja yah).

Waduh, sepertinya saya mulai ngalor ngidul gak jelas. Niat awal mau bahas mengapa saya suka on - off kalau baca buku romens, kok malah bahas trend pada genre romens ya. Oke, back to topic, jawabannya mungkin bisa bermacam-macam seperti:

  1. Tergantung bukunya sendiri.  Yang berarti cakupannya bisa luas meliputi, gaya bahasa, plot, karakter, dll.  Yang pasti saya kurang cocok sama yang gaya bahasanya terlalu hiperbola a.k.a lebay, berbunga-bunga, galau, super melankolis. Saya lebih suka romens yang ditunjukkan lewat tindakan bukan rayuan pulau kelapa #eh
  2. Big no with "I can't live without you-romance". Twilight everyone? Twilight sukses bikin saya skeptis sama genre romens. Jangan salah, saya masih menganut paham romens monogami kok. tapi cinta sehidup semati itu terasa egois untuk saya, karena kesannya tidak memikirkan orang lain. 
  3. Triangle love. Yah sebenarnya sih saya nggak masalah sama cinta segitiga kalau pengemasan dan hasil akhirnya bisa oke seperti yang biasa ada di drama Korea, eh tunggu K-drama itu biasa jadinya cinta segi empat #abaikan. Alasan saya ngga suka cinta segitiga karena pasti ada ketidakadilan untuk pihak yang lain. Tapi balik lagi ke ceritanya sendiri, kalau penulis bisa membuat cerita yang oke dengan hasil akhir yang baik, tak mengapa. 
  4. I don't like the characters. Saya termasuk tipe pembaca yang harus suka karakternya dulu untuk bisa menikmati kisah percintaannya. Yang pasti saya tidak suka dengan tipe Mary Sue dan Gary Stu dan karakter yang egois (hero maupun heroine-nya). Sudah cukup ketemu sama banyak orang egois di kehidupan nyata, masa nambah lagi di novel, eh kok jadinya curhat lagi. #maafkan
  5. Love is blind, stupid and selfish. Ini agak mirip ke nomor 2, yang pasti saya tidak suka kisah percintaan yang destruktif dan merugikan orang lain. 
  6. Instant love. Saya memang bukan tipe orang yang percaya "cinta pada pandangan pertama". Bagi saya kisah cinta itu butuh proses. Walau semua bermula dari ketertarikan fisik, tapi yang menjadikan suatu cerita menarik bagi saya adalah prosesnya. Karena itu romens yang percintaannya cenderung mulus-mulus saja, terasa membosankan untuk saya. 

Segini dulu pembahasan saya, karena ini saja sudah panjang. Kalau soal masalah suatu romance keju atau tidak sih, mungkin sesuai selera masing-masing. Sekian untuk Speak Up Your Mind kali ini, untuk berikutnya saya mau bahas fantasy :D

4 komentar:

  1. ahhh.. Lina ini emang paling bisa milih gambar buat mendukung tulisan, itu gambar paling pertamanya oh soo sweet bangets :))

    untuk genre romans, gua kayanya sekarang kurang suka yang 'mengawang2' macam harlequin, lebih suka yang 'membumi' dan lebih mungkin terjadi dalam kehidupan nyata XD walau yahh.. belakangan sih amat sangat jarang sih baca genre ini :D

    BalasHapus
  2. Aku sekarang juga kurang suka yang bikin romens jadi genre utama, kalo dia cuma jadi subgenre, ya oke lah. Baca Eleanor & Park aja aku datar banget :))

    BalasHapus
  3. Jujur ya, dulu aku ga suka buku romance, walau suka sih baca komik shoujo. Eh, nelan ludah sendiri deh pas akhirnya jadi suka romance :)). Romance emang buanyak kok clichenya, tapi aku saat ini masih suka aja bacanya. Menurutku cinta sendiri sudah jadi bagian dari hidup. Aku sendiri suka males liat orang yang romance-shaming, dimana aku menganggap orang kayak gini ini yang namanya book-snob. Aku menghargai juga ada orang yang ngga suka baca romance, tapi ga perlu kan jelek2in genre ini, apalagi kalau sebelumnya ga pernah baca :))

    BTW, love indeed blind, selfish and stupid Lin. Ada yang bilang cinta itu memang menyakitkan, dan menurutku itu manusiawi

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...