Jumat, 28 November 2014

TIGA BIANGLALA: KISAH KESEDERHANAAN PERSAHABATAN ANAK-ANAK YANG POLOS

Judul: Tiga Bianglala
Penulis: Misna Mika
Penerbit: Gramedia pustaka Utama
Jumlah halaman: 304 halaman
Cetakan 1, 2013
Segmen: Anak-anak, remaja, semua umur
Genre: Drama, realistic fiction
Harga: Rp 57.000
Rate: ★★★½


Itut dan Manna, 2 anak SD yang sudah bersahabat sejak kecil. Mereka berdua hidup susah dan miskin di sebuah kampung di kota Palembang. Ayah Itut hanya bekerja serabutan sebagai buruh bangunan dengan penghasilan tidak tetap yang harus menghidupi istri dan keenam anak-anaknya termasuk Itut. Untuk makan sehari-hari pun mereka sering kesulitan yang membuat Itut sering kelaparan karena tidak kebagian jatah makanan dengan saudara-saudaranya. 

Begitu pula dengan Manna, sahabat karib Itut. Kendati ayah Manna lumayan berkecukupan dan sangat menyayangi Manna, ia terpaksa tinggal dengan nenek tirinya yang miskin karena ibu tirinya membenci Manna dan sering menyakitinya. Uang yang diberikan ayah Manna kepada nenek tirinya untuk kebutuhan Manna terpaksa dibagi untuk membiayai kebutuhan hidup saudara-saudara tiri Manna yang lain dan sering membuat Manna kelaparan karena tidak kebagian makanan di rumah nenek tirinya. 

Hal ini ditambah lagi dengan perlakuan salah satu teman sekelas mereka, yaitu Vivi, anak orang kaya yang sombong dan suka menghina Itut dan Manna karena mereka berdua miskin. Meskipun susah dan sering menderita, Itut dan Manna berusaha gembira seperti anak-anak lain. Itut yang jahil, lincah dan banyak akal selalu mempunyai banyak ide untuk membuat hari-hari mereka yang penuh keterbatasan menjadi ceria, mulai dari mencuri jambu tetangga yang terkenal pelit, menyewa sepeda, bermain cak engkleng hingga berjualan es bungkus.

Saat bagi raport, nilai-nilai Itut banyak yang merah, dari sini Itut dan Manna memutuskan untuk belajar dengan Meimei, gadis Tionghoa teman sekelas mereka yang selalu juara 1. Meimei sendiri senang berteman dengan Itut dan Manna. Karena etnisnya yang berbeda, Meimei selalu dijauhi oleh teman-teman yang lain dan dianggap anak aneh. 

Tiga gadis cilik ini menamakan persahabatan mereka sebagai 3 bianglala. Seperti pelangi, persahabatan mereka akan dipenuhi oleh berbagai warna-warni, yang tidak hanya berisi canda dan tawa tapi juga haru. 

 Kesan saya:

Buku ini mengambil setting pada jaman orde baru, tepatnya tahun 1980, jadi belum ada atau belum banyak beredar yang namanya gadget semacam  HP, apalagi iPad, tablet dan sejenisnya. 

Ceritanya sendiri sangat membumi dan sehari-hari. Kisah persahabatan 3 anak SD, di mana  kegiatan sehari-hari mereka diisi dengan bermain dan juga kisah dalam keluarga masing-masing. Utamanya di sini adalah masalah sehari-hari Itut dan Manna. Itut dengan perekonomian keluarganya yang pas-pasan dan bagaimana ia mengakali kondisinya saat sedang kelaparan, sedangkan Manna harus menahan kesedihan karena tidak bisa tinggal besama dengan ayah yang ia cintai akibat perlakuan ibu tirinya yang kejam. Dan mungkin itulah gunanya teman, yaitu saling tolong menolong dan menghibur saat sahabatnya sedang ada masalah atau sedih. 

Gaya bahasa atau narasi dalam buku ini juga sederhana dan sangat sehari-hari seperti era 1980 di Palembang. Jadi cocok banget untuk dibaca anak-anak SD dan SMP, karena ceritanya banyak mengingatkan saya akan bacaan-bacaan saya semasa kecil seperti Bobo dan juga cerpen-cerpen dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia. Kisah persahabatan Itut, Manna dan Meimei pun mengingatkan saya akan hari-hari saya saat SD yang diisi dengan bermain dan belajar bersama teman-teman.

Tentu saja, yang terpenting dari buku anak-anak adalah pesan moral yang kuat. Buku ini mengajarkan anak-anak untuk tetap positif dalam segala keterbatasan, menghargai teman, menolong teman yang kesusahan dan tidak membeda-bedakan seseorang hanya karena suku, agama, fisik, ataupun status sosialnya (kaya/miskin) 

Saya suka karena penulis menggambarkan kepolosan anak-anak dalam buku ini. Seperti Itut yang karena sering kelaparan selalu menjadi ceria asal ada makanan. Dan walaupun awal-awalnya saya suka merasa sebal dengan Itut, tapi Itut sangat setia kawan. Itut tidak takut meladeni Vivi yang kaya kalau anak tersebut berani menghina salah satu sahabatnya. 

Bagi yang berharap kalau kisah ini bakal banyak drama mengharu biru atau berharap ada unsur politik terkait masa orde baru, maka lupakan, karena ini buku anak-anak. Tidak ada jalinan cerita rumit untuk dipikir berlarut-larut, hanya sebuah kisah persahabatan dan kepolosan anak-anak dalam menjalani keseharian mereka. Unsur drama seperti kehilangan dan perpisahan memang ada tapi buku ini ingin berpesan untuk tidak  mengisi masa anak-anak hanya dengan kesedihan dan masa lalu, karena anak-anak akan selalu mempunyai mimpi untuk menghadapi hari esok dan masa depan yang cerah. Seperti pelangi atau bianglala yang selalu muncul sehabis hujan dan badai.

Dan kebetulan atau tidak, tema posbar November yang saya baca kali ini baik angka maupun Newbery sama-sama mempunyai unsur family yang kental dan tokoh ayah-ayah yang keren yang sayang dan perhatian sama anak, seperti ayah Itut, ayah Manna dan ayah Meimei. Yah, ibu juga oke sih tapi interaksi sama ayah lebih terasa.



Reviewed by:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...