Judul: Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh
Penulis: Dee (Dewi Lestari)Penerbit: Truedee Books
Proofreader: Prof. Dr. Fuad Hassan, Hermawan Aksan
Cetakan V, November 2001
ISBN: 979-96257-0-X
Jumlah halaman: 231 halaman
Segmen: Dewasa
Genre: Filosofi, Magical Realism
Rate: ★★★
Special Note: Thanks to Indah for lending me your book.
"Free will adalah kebebasan manusia untuk mengubah perspektif."
Bagaimana saya mereview buku ini?
Untuk review kali ini, saya tidak akan mereview ceritanya tapi langsung mengenai opini saya mengenai buku ini. Karena seperti yang kalian semua tahu, ini buku sudah terbit sangat lama dan saya memang telat banget baru membacanya sekarang, jadi saya yakin kalian semua sudah tahu mengenai ceritanya.
Beberapa waktu yang lalu, timeline twitter saya sempat dihebohkan oleh promosi mengenai film Supernova: Kstatria, Putri dan Bintang Jatuh. Dari banyaknya orang-orang yang heboh ngomongin filmnya, iseng-iseng saya cek buku ini di gutrits dan banyak yang memberi rating bagus untuk Supernova: KPBJ. Tentunya hal tersebut semakin menambah rasa penasaran saya untuk membaca buku ini, apalagi saya sama sekali tidak pernah membaca satu pun karya Dee. Yup benar, tidak pernah baca, meski nama Dee atau Dewi Lestari sudah sangat populer dalam dunia fiksi literatur lokal (sama seperti saya juga belum pernah baca karya Raditya Dika, Orizuka, Winna Efendi, Christian Simamora dan beberapa nama penulis lokal populer lain), tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, bukan?
Back to topic. Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh atau selanjutnya saya singkat KPBJ adalah salah satu buku yang sulit bagi saya. Saya bukan anak IPA waktu di SMA dan penjelasan-penjelasan teori ilmiahnya bikin kening saya berkerut. Saya tidak paham kata-kata macam turbulensi, paradigma reduksionisme, atraktor, serotonin, dll. Reaksi saya saat membaca itu adalah, "O tidak, kata-kata dari bahasa dewa apalagi ini."
Dialog-dialog antara Ruben dan Dhimas, dikemas seperti sebuah diskusi ilmiah antara profesor dan muridnya, lengkap dengan perdebatan dan argumentasi. Beberapa kalimat tampak seperti text book yang- yah terlalu teoritis. Untunglah, cerita tidak berkutat seputar Dhimas dan Ruben saja, karena dalam kisah yang ditulis Ruben dan Dhimas, ada cerita lain lagi di dalamnya. Dan saya lebih enjoy menikmati cerita yang mereka tulis daripada pembahasan ala sains Dhimas dan Ruben. Dan favorit saya adalah akhir kisah Rana dan Arwin. Mungkin seperti kata salah satu endorser buku ini, Sujiwo Tejo, kalau buku ini akan mengecewakan bagi mereka yang terbiasa membedakan fiksi dan non fiksi. Yah, saya mungkin termasuk yang kecewa.
Di sisi lain, hal-hal atau teori-teori sains dan ekonomi yang dibicarakan Dhimas dan Ruben, seolah terasa bahwa penulis ingin menunjukkan pada pembaca bahwa penulis banyak tahu dan sudah banyak meriset dan membaca. Sayangnya dialog sains-nya terlalu canggih bagi saya, yang ada saya tidak bisa menangkap dan bawaannya ingin skip bagian percakapan ilmiahnya.
Banyak yang menganggap buku ini adalah sains fiksi, untuk saya pribadi, saya lebih menganggap buku ini adalah filosofi dengan bahasa dan kutipan-kutipan sains fiksi. Saya juga menambahkan genre magical realism karena tokoh Diva yang sangat "tidak biasa." Juga beberapa hal yang dikisahkan fiksi dalam cerita ini ternyata tidaklah fiktif.
Pendek saja review saya kali ini, karena buku ini sendiri bukan selera saya dan tidak meninggalkan kesan apapun. Mungkin karena saya pribadi lebih menyukai fiksi di mana saya bisa ingat cerita, plot dan karakternya. Saya bukan pembaca dengan otak canggih. Saya juga belum berniat untuk membaca sekuelnya, namun saya akan tetap membaca karya Dee yang lain.
NARC 2015: Support local authors
Lucky Number No. 15: Something Borrowed
Tidak ada komentar:
Posting Komentar