★★½
Judul Buku: Mahogany Hills
Pengarang: Tia Widiana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman: 344 Halaman
Segmen: Dewasa
Genre: Romance, Domestic Romance
Status: Pinjaman dari Mbak Dewi
Sebenarnya, saya malas mereview buku ini. Kenapa? Pertama, karena ceritanya biasa saja menurut saya. Kedua, buku ini juga sudah selesai saya baca sejak 5 hari yang lalu dan sekarang saya sudah lanjut baca buku lain. Jadi feelnya sudah menghilang 50% (saya memang tipe yang selesai baca harus langsung review, kalau tidak cepat direview dan langsung lanjut baca buku lain, pasti feelnya bakal hilang, kecuali bukunya itu sangat berkesan sampai bikin saya book hangover) Ketiga, sudah banyak review-review seru dan menarik tentang buku ini lebih tepatnya seru baca reviewnya, alih-alih seru baca bukunya :P
Terus, apa yang membuat saya akhirnya mereview buku ini? Yah, itu karena semata-mata, isi blog saya akhir-akhir ini lebih banyak uneg-uneg, opini, curhat, meme, dll daripada review buku. Jadi katakanlah review saya kali ini boleh dibilang kejar setoran. #jujur
Eniwei, busway, sekarang ini saya banyak dengar istilah domestic romance? Apa sih itu? Domestic Romance adalah cerita romens yang lebih membahas mengenai hubungan antar suami-istri atau pasangan yang sudah menikah. Nah Mahogany Hills ini juga begitu.
Perhatian: Review mengandung spoiler dan juga mungkin bakal nyebelin.
Ceritanya ada pasangan pengantin baru yang bernama Jagad dan Paras. Mereka menghuni sebuah rumah yang bernama Mahogany Hills, suatu daerah pegunungan di Sukabumi. Jagad dan Paras menikah karena perjodohan dari orang tua. Paras menerima pernikahannya dengan sebuah harapan indah untuk membangun suatu rumah tangga yang bahagia bersama Jagad. Sayangnya, Jagad tidak merasa demikian. Dia menikah karena terpaksa. Hal itu menyebabkan Jagad memperlakukan istrinya, Paras dengan sangat buruk. Sementara Paras tetap berusaha tabah menerima semua perlakuan Jagad, dengan harapan suatu saat cinta bisa bersemi di antara mereka.
Yup, itulah ringkasan ceritanya. Dari situ sudah ketahuan polanya. Awalnya cowoknya arogan, menyebalkan, lalu akhirnya jadi bertekuk lutut sama ceweknya.
Saya tahu Mahogany Hills dari beberapa review anak-anak BBI. Boleh dibilang, daripada bukunya sendiri, membaca review-review Mahogany Hills lebih seru. Misal review Ren atau Mbak Dewi yang lebih banyak mencak-mencak karena jalan ceritanya atau tokoh cowoknya yang minta ditampol. Tapi ada juga yang suka, seperti review Stefanie atau reviewnya Luckty. Eh apa maksud saya nih, bawa-bawa ripiu orang ke blog saya?
Tidak ada maksud apa-apa sih, tapi supaya adil, saya harus kasih review yang suka dan tidak suka donk. Namanya juga pendapat dan selera, pasti beda-beda. Lha, terus saya sendiri bagaimana? Sayangnya, saya lebih condong ke kubu yang tidak suka. Alasannya, yah, silakan cek sendiri di link review yang saya sebutkan di atas. Lalu alasan lain, mungkin saya merasa penuturannya terlalu banyak narasi dan deskripsi yang kadang bikin saya bosan, karena jadinya bertele-tele. Meski dari segi diksi sudah baik, tapi yah penuturan yang terlalu panjang dan detil (macam truk pengangkut sayur mayur pun dijelaskan lengkap susunan sayurannya, padahal truknya hanya lewat selintas saja) bikin saya suka hilang fokus dan teralihkan ke hal lain.
Saya ingat, buku ini sempat heboh di grup bajai jaboers. Kebanyakan penasaran karena buku ini adalah pemenang pertama lomba penulisan Amore tapi justru beberapa reviewnya jelek. Lalu, saya tanya, "Emang bukunya seperti apa sih?" dan dijawab, "Mirip Harlequin jadul."
Setelah saya selesai membacanya, ternyata memang mirip Harlequin jadul, termasuk penuturan Tia, hanya saja lebih disesuaikan dengan budaya Indonesia. (Baca: maksudnya tuh nggak ada adegan gelenyar-menggelinjang).
Setelah saya selesai membacanya, ternyata memang mirip Harlequin jadul, termasuk penuturan Tia, hanya saja lebih disesuaikan dengan budaya Indonesia. (Baca: maksudnya tuh nggak ada adegan gelenyar-menggelinjang).
Saya sebenarnya lumayan menikmati Harlequin sewaktu SMA, cuma berhubung ternyata setelah itu, saya mengetahui kalau kehidupan tidaklah semanis kisah Harlequin, saya pun mulai beralih ke genre lain yang cerita, konflik dan karakternya lebih real. Yah, tapi berhubung saya banyak melihat lini Amore di toko buku, maka saya mengambil kesimpulan, bahwa tema basi pun tak lekang dimakan jaman asal pengemasannya menarik.
Tapi, yang saya sayangkan pengemasan menarik itu tidak sebanding dengan isi ceritanya. Tia, mempunyai gaya diksi yang rapih seperti novel terjemahan. Tapi mungkin saja selera saya agak bertentangan dengan mainstream, saya tidak suka tipe cowok arogan dan cewek yang nrimo. Terus saya juga tidak suka dengan cerita perkosaan dan amnesia. Bayangin, ceweknya diperlakukan dengan dingin, harga diri sang cewek sudah dipermalukan pas malam pertama, terus pas lagi lebam-lebam karena habis diserang cowok lain, bukannya diobati dulu luka-lukanya dan dihibur malah diperkosa, meski suaminya sendiri, tetap perbuatan itu tidak pantas.
Oke, ralat, saya benarnya gak masalah, dengan tema basi, cerita klise termasuk adegan "lupa" selama punya relevansi dan alasan yang bagus untuk keseluruhan plot ceritanya. Tapi kadang berasa adegannya ini, lebih karena untuk sekedar nambahin konflik. Padahal, konflik utama sudah ada, yaitu Jagad yang tidak mau mengakui perasaannya. Tapi mengapa harus tunggu "lupa" dulu baru mau mengakui.
Selain itu, karakternya juga tidak konsisten, terutama Paras, saat dia amnesia. Dia takut pada Jagad, tapi juga pengen dekat-dekat sama Jagad, lha?
Kalau saya, penulisnya, mungkin, alih-alih amnesia, saya lebih baik mengubah karakter Paras. Misal Paras jadi syok karena keguguran dan membenci Jagad dan tidak mau menerimanya kembali. Etapi, kalau kayak gini, namanya bukan Amore yah, tapi jadi Udah Putusin Aja!
wahahahah. Mbak Lina review buku iniii. Saya penasaran lho sama buku ini. Swap yuk mbak. #eh
BalasHapusealah. ternyata Mbak Lina juga pinjem. :p
Hapusaku gak bisa swap yu, bukan punyaku soalnya, Tapi punya bu dokter dan skrg lagi beredar di Orin
Hapus^Ayu, punyaku kayaknya ada di Aul. Kalau mau nanti aku kasihtau ke dia buat kirimin ke dirimu aja yah.
BalasHapusBenernya cliche cowo arogan dan cewe nrimo itu khas novel bodice ripper jaman 70-80an. Jadi mikir apa pengarang - pengarang dulu (kayak Mira W dll) terinspirasi dari luar. Kalau iya, jaman dulu walau g ada internet, hebat banget bisa pengaruh ke Indonesia ya Lin.
Aku sendiri juga heran dengan tema kekerasan di buku ini yang "so yesterday". Walau maksudnya ingin mengatakan bahwa ini realita hidup, malah gagal di penyampaian.
Tapi dirimu masih baik hati, kasih 2,5 :D
ahahaha, karena secara penuturan masih oke. Benernya 2 bintang, setengah bintang untuk kavernya :D
HapusAku penasaran sama buku ini. Muahaha...
BalasHapuspinjam aja Tam, mana tau suka.
Hapussaya termasuk yang suka hihihi...
BalasHapusbaguslah, berarti bacaan kita kaya selera :D
Hapus