✭✭✭
Judul : Legend
Pengarang : Marie Lu
Penerbit : Mizan (Mizan Fantasi)
Penerjemah : Lelita Primadani
Penyunting : Prisca Primasari
Proofreader : Emi Kusmiati
Jumlah Halaman : 382 Halaman
Segmen : Remaja, Dewasa Muda
Genre : Dystopia, Science Fiction, Action
Harga : Rp 55.000
Another action dystopia? pasti pikiran saya langsung membandingkan dengan The Hunger Games. Bukan hanya saya, tapi rata-rata para reviewer di goodreads pun menuliskan hal yang sama, wajarlah karena berkat The Hunger Games, genre dystopia jadi terangkat. Kalau menurut saya dibandingkan dengan Divergent, cerita dalam Legend ini lebih mirip The Hunger Games. Divergent lebih mirip dystopia yang terinspirasi dari pemilihan topi seleksi di Harry Potter. Sedangkan Legend, memiliki kemiripan unsur yang sama dengan The Hunger Games terutama dalam soal politik, media dan propaganda.
Sebelumnya mari bahas dulu cerita dalam Legend :
Kali ini tidak ada distrik seperti The Hunger Games, tidak ada pembagian faksi-faksi seperti Divergent (mengapa saya hanya bandingkan dengan THG dan Divergent bukan YA lain macam Uglies atau Delirium, karena baik THG maupun Divergent sama-sama YA dengan poros utama action-survival). Bila biasanya setting dystopia mengambil tema setelah masa perang besar, maka Legend tidak perlu menunggu lewat masa perang tapi settingnya terjadi saat perang besar itu sendiri sedang berlangsung. Lebih tepatnya perang saudara di Amerika Serikat.
Siapa saja yang berperang, yang utama ada 2 wilayah yang saling berperang tetapi sesungguhnya ada 3 pihak yang saling bertikai. Mereka adalah:
- Republik untuk wilayah Barat (west coast)
- Koloni untuk wilayah Timur (east coast)
- Patriot (pihak pemberontak yang menentang pemerintahan Republik)
Setting mengambil tempat di Republik. Berhubung keadaan sedang perang, maka negara banyak menggunakan rakyatnya untuk dijadikan tentara. Untuk itu mereka butuh manusia-manusia dengan genetik yang bagus. Oleh karenanya setiap anak-anak di wilayah Republik yang telah berusia 10 tahun harus mengikuti ujian untuk mengetest kemampuan mereka. Anak-anak tersebut menjalani suatu ujian untuk menguji kekuatan fisik dan kecerdasan otak mereka.
Hasil dari ujian ini terbagi dalam 4 tingkatan nilai untuk kelayakan lulus, yaitu:
- Score 1500. Nilai yang sangat sempurna dan sangat teramat jarang ada anak yang mendapatkannya.
- Score 1450-1499. Nilai yang sangat baik dan cukup untuk jaminan modal hidup layak hingga tua di Republik, selain itu anak-anak yang mendapat score ini nantinya akan bekerja langsung pada pemerintah, dalam hal ini Republik.
- Score 1250-1449. Nilai yang lumayan untuk hidup berkecukupan dan mendapatkan akses pendidikan.
- Score 1000-1249. Nilai pas-pasan, tidak mendapat akses pendidikan dan biasanya akan bekerja sebagai buruh pabrik.
Dibawah itu maka tidak lulus. Apa yang terjadi kalau tidak lulus? Maka anak-anak tersebut akan dikirim ke kamb buruh dan tidak pernah dikembalikan lagi ke keluarga mereka.
So here the characters :
Ada 2 sudut pandang di sini. Sudut pandang Day dan sudut pandang June. Jadi cerita bakal selang-seling antara Day dan June.
Day adalah seorang anak lelaki 15 tahun yang selama ini menjadi buronan Republik. Day telah banyak melakukan tindakan kriminal melawan Republik seperti merusak fasilitas-fasiltas militer milik Republik. Hingga suatu hari Day melakukan kejahatan yang sangat besar, yaitu membunuh salah satu komandan tinggi militer Republik yang bernama Metias. Namun walaupun menjadi buronan paling dicari, Republik tetap gagal menangkap Day.
June adalah seorang anak perempuan jenius berusia 15 tahun kesayangan Republik. Bukan hanya itu saja, June juga adalah adik satu-satunya Metias dan Metias adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki June sejak kedua orang tua mereka meninggal. Karena itu June sangat sedih dan marah saat tahu seorang buronan Republik telah membunuh kakak tersayangnya. Dengan semangat membalas dendam, June berniat membantu Republik dalam memburu Day untuk membalaskan kematian kakaknya.
Berhasilkan June menemukan pembunuh kakaknya tersebut?
Sekarang saatnya pembahasan :
Saya banyak mendengar review positif mengenai Legend dan berhubung saya masih penasaran dengan tipe action-dystopia, saya putuskan untuk membeli bukunya. Sayangnya tampaknya ekspektasi saya terlalu berlebih mengenai Legend.
Bukunya tidak jelek, penulisannya cukup oke. Hanya saja saya tidak merasakan keseruan yang bikin saya penasaran seperti saat saya membaca THG, saya tidak tahu apakah karena saya mulai merasa bosan sama buku-buku bertipe action-dystopia atau memang eksekusi cerita dalam Legend yang kurang seru. Maksud kurang seru di sini adalah tidak menimbulkan efek penasaran saat membacanya. Dan kembali ke kalimat di awal review, saya membutuhkan hingga 200 halaman untuk bisa merasakan intensitas cerita meningkat dalam Legend. Atau lebih tepatnya saat bagian 2 dimulai.
Sejujurnya dibanding Divergent, konsep dystopia dalam Legend ini lebih masuk akal menurut saya. Tapi (masih menurut saya) penuturan Veronica Roth di Divergent lebih seru, karena sejak awal sudah terasa intens. Balik ke Legend, di mana saat negara sedang perang, maka masyarakatnya banyak yang dijadikan prajurit. Dan untuk menjadi prajurit yang tangguh maka dibutuhkan gen-gen yang terbaik.
Hanya saja, saya rasa Marie Lu sebaiknya tidak menggunakan 2 POV karakter untuk novel pertamanya ini. Mana dua-duanya menggunakan 1st person POV. Karakter Day dan June sendiri lumayan mirip. Penuturan Day lebih terlihat insecure sedangkan June lebih confident dan tenang. Tapi selain itu mereka mirip. Day digambarkan tampan, heroik, tangguh, cekatan, cerdas begitu pula dengan June yang cantik, cerdas, gesit pokoknya mereka berdua itu digambarkan keren deh. Dulu karakter flawless itu terlihat keren di mata saya tapi sekarang karakter flawless itu membosankan. Saya tidak merasakan strugglenya June saat harus memilih antara hal yang selama ini dipercayainya dengan kenyataan baru yang mengejutkannya. Begitu pun dengan karakter-karakter pendukung lain yang dikorbankan pengarang, saya hanya merasa angin lalu saja. Tidak ada efek sedih atau kehilangan.
Saya pernah menuliskan kalau memakai 1st person POV sebaiknya buat karakternya semenarik mungkin untuk menghindari penuturan yang terkesan terlalu 'rapih'. Saya rasa inilah yang membuat saya agak bosan dengan 200 halaman pertama. Tidak ada celutukan sarkasme dan humor baik dari Day atau June. Okelah kalau pun kondisinya tegang tapi kan tetep bisa, ciuman saja bisa masa sedikit humor tidak ada.
Entah apakah memang kebetulan atau terinspirasi, tapi karakter Day mengingatkan saya akan Robin Hood. Yang membuat saya kesulitan membayangkan wajah Day itu karena deskripsinya yang katanya berambut pirang platina dengan mata biru tapi wajah asia. Bagaimana itu membayangkannya? Bagi saya sih jatuhnya tetap bule. Masa iya saya harus membayangkan aktor K-Pop mewarnai rambut menjadi pirang dan memakai lensa kontak biru. OK, saya membayangkan Eiji Wentz, walau dia sebenarnya sudah tua, 28 tahun, tapi mukanya imut kok.
Kalau June, saya membayangkan si cantik Hailee Steinfield.
Kalau untuk pemeran Metias, kakak June, menurut pengarangnya itu (yah menurut pengarangnya langsung, bukan saya), yang cocok adalah Ben Barnes (selera Marie Lu bagus juga #eh)
Trus balik ke unsur yang bikin 'kurang penasaran' saya rasa karena bagian 1 terlalu lama alias muter-muter. Seharusnya bagian 1 lebih dipadatkan, pertemuan Day dan June boleh dipercepat. Dan mungkin balik lagi ke masalah POV. Menurut saya daripada multiple 1st person POV selang seling, lebih baik bagian 1 POV June, bagian 2 POV Day dan tambah bagian 3 untuk POV June lagi.
Nah sekarang yang mau saya bahas terakhir adalah cover buku terjemahan, eng-ing-eng. Kesan pertama saya saat melihat cover terjemahannya adalah, "Alamak!" Warnanya itu lho sukses bikin mata jadi siwer (saya bersedia jadi relawan untuk tim artistik desain cover Mizan, saya memang bukan mahasiswa desain tapi saya tahu mana yang eye candy dan mana yang eye messy).
Coba bandingkan sama cover aslinya yang elegan dengan warna dasar silver dan bintang emas simbol militer, lengkap dengan kilauan sinar peraknya di tengah-tengah simbol. Seandainya Mizan cetak ulang dengan cover asli, saya mau beli lagi deh, karena cover aslinya keren.
Eniwei, saya pasti akan baca buku keduanya kok , Prodigy :D
Saya pernah menuliskan kalau memakai 1st person POV sebaiknya buat karakternya semenarik mungkin untuk menghindari penuturan yang terkesan terlalu 'rapih'. Saya rasa inilah yang membuat saya agak bosan dengan 200 halaman pertama. Tidak ada celutukan sarkasme dan humor baik dari Day atau June. Okelah kalau pun kondisinya tegang tapi kan tetep bisa, ciuman saja bisa masa sedikit humor tidak ada.
Entah apakah memang kebetulan atau terinspirasi, tapi karakter Day mengingatkan saya akan Robin Hood. Yang membuat saya kesulitan membayangkan wajah Day itu karena deskripsinya yang katanya berambut pirang platina dengan mata biru tapi wajah asia. Bagaimana itu membayangkannya? Bagi saya sih jatuhnya tetap bule. Masa iya saya harus membayangkan aktor K-Pop mewarnai rambut menjadi pirang dan memakai lensa kontak biru. OK, saya membayangkan Eiji Wentz, walau dia sebenarnya sudah tua, 28 tahun, tapi mukanya imut kok.
Kalau June, saya membayangkan si cantik Hailee Steinfield.
Kalau untuk pemeran Metias, kakak June, menurut pengarangnya itu (yah menurut pengarangnya langsung, bukan saya), yang cocok adalah Ben Barnes (selera Marie Lu bagus juga #eh)
Trus balik ke unsur yang bikin 'kurang penasaran' saya rasa karena bagian 1 terlalu lama alias muter-muter. Seharusnya bagian 1 lebih dipadatkan, pertemuan Day dan June boleh dipercepat. Dan mungkin balik lagi ke masalah POV. Menurut saya daripada multiple 1st person POV selang seling, lebih baik bagian 1 POV June, bagian 2 POV Day dan tambah bagian 3 untuk POV June lagi.
Nah sekarang yang mau saya bahas terakhir adalah cover buku terjemahan, eng-ing-eng. Kesan pertama saya saat melihat cover terjemahannya adalah, "Alamak!" Warnanya itu lho sukses bikin mata jadi siwer (saya bersedia jadi relawan untuk tim artistik desain cover Mizan, saya memang bukan mahasiswa desain tapi saya tahu mana yang eye candy dan mana yang eye messy).
Coba bandingkan sama cover aslinya yang elegan dengan warna dasar silver dan bintang emas simbol militer, lengkap dengan kilauan sinar peraknya di tengah-tengah simbol. Seandainya Mizan cetak ulang dengan cover asli, saya mau beli lagi deh, karena cover aslinya keren.
Eniwei, saya pasti akan baca buku keduanya kok , Prodigy :D
buset lah kenapa cover dari mizan lame sekali sih :)) aku pernah loh mau beli buku yang masuk buku YA terbaik di GR terus cover terbitan mizan jelek banget, imo, jadi aku gak jadi beli :v aku juga gak puas sama cover The Mountains Echoed, tapi yah gimana, klo kali ini penilain datang karena penulisnya. Saya remeh ya, cover aja dijadikan faktor beli buku atau gak :v
BalasHapuseh buku apa tuh YA terbaik?
HapusIya, Mizan kalau bikin cover sendiri itu lebih banyak lame-nya, coba contoh Gagas yang covernya eye candy walau kadang isinya biasa.
covernya setipe sama delirium. errr banget. padahal cover aslinya bagus. -__-
BalasHapusiya nis, errr banget. ><
HapusBuat aku,Legend itu terlalu banyak kebetulan.Kemudian penjelasan latar tempat dan waktu dalam cerita juga kurang jelas.Kalau soal cover,emang parah banget tuh Mizan.Pertama lihat malah aku kira novel teenlit lokal.Setelah baca review di Goodreads,baru ngeh kalo itu YA dystopia.Tolong untuk pihak Mizan,bikin cover yg lebih bagus.Kalau gak ada ide,mending dibuat mirip sama versi aslinya.
BalasHapusastaga aku baru tau kalau ternyata legend udah diterjemahin dan covernya meeeh banget-_- menurut aku ceritanya seru banget kok apalagi prodigy sama champion keren pake banget hehe
BalasHapus