Pengarang: Aliazalea, Anastasia Aemilia, Christina Juzwar, Harriska Adiati, Hetih Rusli, Ika Natassa, Ilana Tan, Lea Agustina Citra, Meilia Kusumadewi, Nina Addison, Nina Andiana, Rosi L. Simamora, Shandy Tan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Desain sampul: Marcel A.W.
Jumlah halaman: 232 halaman
Cetakan 1, April 2013
Segmen: Dewasa muda
Genre: Metropop, Chiclit, Anthology
Harga: Rp 40.000, bisa beli di bukabuku, bukukita, grazera
Rate: ★★★
Sudah lama saya tidak menyentuh genre Metropop karena pada dasarnya Metropop sendiri bukan selera saya, namun sesekali saya membaca Metropop bila ingin bacaan ringan. Salah satu alasan saya membeli buku ini karena beberapa nama tenar dari penulis Metropop yang ada disampulnya, seperti Ilana Tan yang terkenal dengan tetralogi musim-nya, lalu Ika Natassa, Aliazalea, dll. Dan walau tenar, saya belum kesampaian membaca karya mereka, hanya Ika Natassa saja yang saya punya bukunya, tapi itupun belum sempat saya baca.
Dan saya cukup penasaran ingin mengetahui gaya menulis beberapa penulis populer tersebut, tapi kalau harus baca 1 buku ada kecenderungan ogah karena harus menambah lagi daftar timbunan yang sudah menggunung. Karena itu saat keluar buku kumpulan cerpennya, tanpa ragu saya pun membelinya untuk sekedar memuaskan sedikit rasa penasaran saya akan gaya menulis mereka.
Dan inilah pendapat saya (yang jelas subyektif) akan ke-13 cerpen tersebut:
Serba nanggung, sepi dan nggak jelas. Tapi utamanya yang saya tangkap dari cerpen pembuka ini adalah misteri (tenang, bukan misteri yang seram kok) yang tidak terselesaikan. Cerpen ini sekedar tell us something happened bukan yang awal-masalah-solusi. Saya seperti merasa cerpen ini sekedar filler doang.
Sorry, I don't like it.
2. Thirty Something oleh Anastasia Aemilia.
Again, this is another "tell us something happened" short story rather than beginning-conflict-solution. Ceritanya juga forgettable untuk saya, begitu pula karakter-karakternya. Mungkin karena diletakkan di urutan kedua, saat saya selesai membaca buku ini, saya lupa sama cerita ini. Lagi-lagi cerita yang kentang (kena tanggung).
Sorry, I don't like it.
3. Stuck With You oleh Christina Juzwar.
Cerpen yang ini lebih rapi karena ada awal-masalah-solusi. Temanya masih sama dengan 2 cerpen sebelumnya, seputar cowok dan galau bagi lajang perempuan. Tapi mungkin karena temanya terlalu sering, terlalu umum, terlalu klise dan eksekusinya juga standar saja, jadinya saya keburu bosan saat membaca lagi-lagi tema "cowok dan galau bagi lajang perempuan".
Sorry, I don't like it.
4. Jack Daniel's vs Orange Juice oleh Harriska Adiati.
Nah sedikit penyegaran saat masuk ke cerpen ke-4 karena tokoh utamanya bukan cewek tapi cowok. Tema utamanya tentang pedekate. Tapi mungkin karena intinya masih nggak jauh-jauh dari galau dan karakter-karakternya juga biasa saja alias tipikal cowok-cowok Metropolis, saya pun cenderung lupa sama ceritanya.
Sorry, I don't like it.
5. Tak Ada Yang Mencintaimu Seperti Aku oleh Hetih Rusli.
Salah satu cerpen yang masuk kategori tell us something happened. Sebenarnya cerpen ini berpotensi untuk menjadi psikologis thriller macam cerpen-cerpen di Malaikat Jatuh-nya Clara Ng. Apalagi sudut pandangnya banyak menggunakan sudut pandang orang ketiga yang membuat penulis lebih leluasa mengeksplorasi. Sayang cerpen dengan tema "penguntit" ini kurang panjang ditulis oleh pengarang dan jatuhnya cuma "githu doank".
Sorry, I don't like it.
6. Critical Eleven oleh Ika Natassa.
Sebenarnya saya suka sama cerpen ini. Ada filosofi yang membuat penuturannya seperti sebuah personal literature. Tapi mungkin ini balik ke masalah selera. Saya tidak suka bahasa gado-gado. Saya akui, saya sendiri juga suka mencampur bahasa Inggris saat mereview. Tapi porsinya antara Indonesia dan Inggris yang saya gunakan masih 80:20, masih sebatas selingan. Sementara gaya bahasa Ika seperti gado-gado karena bahasa Indoensia dan Inggris porsinya cukup imbang. Jadi dalam 1 paragraf ada yang kalimat pertama bahasa Indonesia lalu kalimat berikutnya bahasa Inggris dan bahkan ada 1 kalimat yang terdiri atas bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Actually, I quite like it, but that mixed language not my cup of tea, sorry.
Sebenarnya saya suka sama cerpen ini. Ada filosofi yang membuat penuturannya seperti sebuah personal literature. Tapi mungkin ini balik ke masalah selera. Saya tidak suka bahasa gado-gado. Saya akui, saya sendiri juga suka mencampur bahasa Inggris saat mereview. Tapi porsinya antara Indonesia dan Inggris yang saya gunakan masih 80:20, masih sebatas selingan. Sementara gaya bahasa Ika seperti gado-gado karena bahasa Indoensia dan Inggris porsinya cukup imbang. Jadi dalam 1 paragraf ada yang kalimat pertama bahasa Indonesia lalu kalimat berikutnya bahasa Inggris dan bahkan ada 1 kalimat yang terdiri atas bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Actually, I quite like it, but that mixed language not my cup of tea, sorry.
7. Autumn Once More oleh Ilana Tan.
Cerpen yang menjadi judul utama dari buku ini, karena itu tidak salah jika saya berharap lebih dari cerpen ini. Sayangnya lagi-lagi ini salah satu cerpen yang masuk kategori tell us something happened. Tambah lagi saya tidak suka sama karakter ceweknya, Tara yang pemaksa alias egois, cerpen ini masih berhubungan dengan salah satu tetralogi musim-nya Ilana Tan. Memang gaya bahasa Ilana cenderung rapih dan baku, lebih mirip terjemahan daripada fiksi-fiksi metropop pada umumnya yang gaya bahasanya sehari-hari. Tapi entah mengapa saya merasa bosan membaca cerpen ini.
Sorry, I don't like it.
8. Her Footprints on His Heart oleh Lea Agustina Citra.
Sepertinya mulai dari no. 8 dan seterusnya, cerpen-cerpennya sudah mempunyai pola yang lebih runut (awal-masalah-solusi) daripada sekedar memberitahu pembaca mengenai suatu kisah yang sedang berlangsung. Tema utama cerita ini mengenai rasa percaya dan mantan pacar. Saya rasa temanya akan lebih mellow dan emosional seandainya kedua tokoh sudah resmi menjadi suami-istri. Terlepas dari tema yang klise, saya tidak ada celaan untuk cerpen ini karena menurut saya sudah oke.
I quite like it.
9. Love is a Verb oleh Meilia Kusumadewi.
Saya juga tidak ada celaan untuk cerpen bertema salah paham dalam hubungan ini, saya suka cerpen ini karena tokoh-tokohnya terasa manusiawi. Mungkin satu-satunya kritik adalah saya mulai bosan akan tema cinta dan galau melulu, yang tentu saja masalahnya ada di selera saya.
I quite like it.
10. Perkara Bulu Mata oleh Nina Addison.
Dari semua cerpen di buku ini, saya rasa cerpen ini paling kental unsur komedinya. Tema dari temen jadi demen sepertinya tak pernah basi sampai kapanpun. Cerpen ini sedikit mengingatkan saya sama Marriageable-nya Riri Sarjono, karena unsur persahabatan ala Friends atau How I Meet Your Mother. Saya suka multiple POV-nya karena membuat cerita jadi ramai.
I like it.
11. The Unexpected Surprise oleh Nina Andiana.
Akhirnya, setelah 10 cerpen bergenre romens, cerpen ke-11 ini lain sendiri. Mengambil unsur hubungan dalam keluarga membuat saya cepat nyambung dengan temanya. Adegannya sederhana sih tapi sangat membumi.
I like it.
12. Senja Yang Sempurna oleh Rosi L. Simamora.
Saat membaca paragraf pertama, saya cuma mengerang dalam hati, sepertinya ini akan menjadi cerpen yang not my cup of tea alias bukan selera saya. Dan itu bukan karena isi ceritanya, tapi lebih karena narasinya yang terlalu puitis atau gaya bahasanya yang terlalu berbunga-bunga atau diksinya yang terlalu banyak bermain kata-kata metafora. Entahlah, saya agak lelah membaca yang seperti itu, padahal cerita yang mau disampaikan sederhana saja.
Sorry, I don't like it.
13. Cinta 2 x 24 Jam oleh Shandy Tan
Cerpen terakhir ini tergolong singkat, sesuai judulnya yang seperti cinta singkat. Yang bikin saya terkejut bukan karakter cowonya yang ternyata ah saya rasa beberapa pembaca mungkin sudah bisa menebak sejak awal, yang bikin saya terkejut adalah POVnya.
I quite like it.
Saya rasa secara keseluruhan buku ini cukup oke, karena itu saya menyematkan 3 bintang. Namun jujur saya termasuk lambat baca buku tipis dan ringan ini karena saya merasa agak bosan saat membacanya. Selain itu tidak ada karakter-karakter yang menonjol dan plot ceritanya juga tipikal. Ah mungkin karena romance bukanlah selera saya.
Cover
Covernya cukup bagus, hanya saja karena sampul kartonnya tidak penuh maka berpotensi membuat kertas kuning di halaman pertama buku menjadi lecek atau tertekuk.
Review ini juga untuk RC:
- 2014 TBRR Pile RC
- Short Stories Reading Challenge 2014
Reviewed by:
aku paling penasaran dengan Critical Eleven karena akan ada bukunya tersendiri, nggak sabar nunggu rilisnya :D
BalasHapussok tau amat ya jadi org mcm uda jago kali
BalasHapuskalo ud jago nulis aja novel sendiri ngak usah sok komentar!!!
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusSebenernya nggak ada salahnya kok buat ngasih opini akan sebuah karya. Mbak Lina disini sebagai pembaca coba buat ungkapan opini nya tentang kumpulan cerita pendek dari buku ini. Sebenarnya dengan dia beropini, dia sharing wacana dia sebagai pembaca dan kita yang sama sekali belum tau apa-apa tentang buku ini, jadi punya gambaran. Kita jadi bisa nimbang-nimbang mau membaca buku ini apa nggak, toh kalo misalnya kita baca mungkin opini kita bisa aja berbeda.
HapusSaya suka heran sama komen "kalo udah jago nulis aja novel sendiri nggak usah sok komentar" - karena menurut saya itu konteks yang mesti dipisahin, antara menjadi penulis dan penikmat. Toh dengan Mbak Lina coba ngeluarin pendapat disini, dia secara nggak langsung mengapresiasi buku ini lho.